Rabu, 10 Februari 2010

Ada apa dengan Pustakawan, Cinta dan Teknologi?



Mao tau jawabannya...

ISIPII didukung oleh Perpustakaan Kementerian Pendidikan Nasional dan mengadakan acara Peluncuran dan Bedah Buku dengan judul Pustakawan, Cinta dan Teknologi, karya Blasius Sudarsono MLS

Hari/Tanggal: Jum'at, 19 Februari 2010, pkl 14.00-16.00
Tempat: Perpustakaan Kementerian Pendidikan Nasional. Gd. A. Lt. 1. Jl. Jend. Sudirman Senayan 10270. telp. 5707870, Fax. 5731228

Pembahas:
Hanna Lattuputty (APISI/Pustakawan British International School)
Librenny (Pustakawan di Library of Congress, kator perwakilan Jakarta)
Agus Rusmana (Pengurus ISIPII/Dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan UNPAD)

Harga buku Pustakawan, Cinta dan Teknologi : Rp. 60.000,-
Nomor Rekening: CV SAGUNG SETO, No. Rek. 342.3003975, BCA CABANG MATRAMAN JAKA
RTA

Note: Tidak ada penjualan buku pada acara ini, TETAPI jika teman-teman berminat membeli bisa langsung transfer ke penerbit dan dengan membawa bukti pembayaran, kami akan memberikan buku pada setelah acara selesai.


Berikut Pengantar yang di tulis oleh Agus Rusman, Universitas Padjajaran, Bandung

Ketika saya diminta membuat pengantar dari buku yang berisi kumpulan tulisan hasil karya Blasius Sudarsono (atau terkenal dengan panggilan akrab Mas Dar atau Pak Dar), terbayang di kepala sekumpulan tulisan dengan bahasa yang rumit dan memerlukan waktu untuk mencernanya. Perkenalan saya dengan Pak Dar sejak tahun 1992 membuat saya cukup hafal akan cara dan gayanya saat menyampaikan gagasan, pemikiran atau kritik terhadap dunia perpustakaan dan pustakawan. Menurut saya perkenalan ini cukup untuk dijadikan modal memahami kumpulan tulisan sebanyak dua puluh tujuh karya yang ditulis sejak Februari 2007 sampai Juli 2009 (bahasa sombongnya: tidak banyak yang bisa mengerti cara Pak Dar memandang dunia perpustakaan dan pustakawan). Kumpulan tulisan ini - tanpa meminta ijin pak Dar, hanya berdasarkan hafalan tentang dirinya – saya beri judul ”Pustakawan, Cinta dan Teknologi.”

Ketika sampai pada saya, kumpulan tulisan ini disusun berdasarkan urutan waktu ditulis dan disajikannya dalam seminar, lokakarya, simposium atau diskusi. Namun ternyata karya tulis ini tidak dapat diurut berdasarkan waktu. Maka kemudian saya mengelompokan karya ini berdasarkan topik bahasan, walaupun tidak semua tulisan dapat masuk dalam kategori karena merupakan topik yang unik, seperti karya berjudul Cinta yang saya tempatkan sebagai bagian awal dari kumpulan tulisan karena saya melihat bahwa tulisan ini merupakan ’nyawa’ yang harus merasuk dalam diri pembaca sebelum mulai membaca dan memahami semua gagasan Pak Dar. Kecuali pada karya tentang Pemberdayaan Perpustakaan di Lingkungan MA, seluruh karya saya biarkan apa adanya.
Untuk dapat memahami tulisan karya Blasius Sudarsono, orang harus mengenalnya cukup lama karena tulisan karyanya seringkali merupakan sebuah pandangan yang sangat dalam dan bahkan seringkali juga beyond imagination, pemikiran yang jauh berbicara tetang sebuah fenomena yang belum terpikirkan atau terbayangkan orang pada umumnya pada saat pemikirannya ditulis. Sifat inilah yang seringkali membuat orang menyebutnya ”nyeleneh (di luar kebiasaan)”, bicara hal yang oleh kebanyakan pustakawan dianggap tidak lazim, ditambah lagi kesukaan penulis pada filsafat membuat bahasan yang dibuatnya selalu memiliki pandangan yang mendalam. Salah satu tokoh yang hampir selalu dikutipnya adalah filsuf Indonesia yaitu Driyarkara. Ada baiknya kita sama-sama membaca pemikiran filsuf ini untuk dapat lebih memahami jalan pikiran ’tidak lazim’ dari penulis ini.

Ketidak laziman pandangan penulis terlihat pada tulisan pertama tentang Mengapa Kita Berhimpun yang mempertanyakan: ”mengapa setelah 60 tahun perpustakaan tidak berkembang?”, ”Mengapa ilmu perpustakaan tidak berkembang?” Tentu saja pertanyaan ini akan dianggap tidak lazim oleh banyak orang, terutama para pengelola perpustakaan yang mengukur kemajuan perpustakaan dari koleksi dan teknologi yang dimiliki. Padahal yang dimaksud oleh penulis adalah bahwa perpustakaan harus sudah berperan lebih dari sekedar menyediakan jasa peminjaman koleksi dengan bantuan teknologi. Perpustakaan di Indonesia idealnya sudah harus sampai pada peran sebagai pusat himpunan pengetahuan yang ada di masyarakat dan menjadi pusat berhimpunnya anggota komunitas di mana mereka kemudian berdiskusi, bertukar pikiran, memecahkan masalah dan menemukan gagasan baru. Pada saat itu perpustakaan dengan teknologi dan koleksinya, menyediakan semua kebutuhan referensi untuk diskusi tersebut dan merekam hasil diskusinya untuk menjadi pengetahuan baru. (Ini adalah gagasan mutakhir penulis yang hanya sempat diobrolkan, sehingga tidak ada dalam tulisan). Berdasarkan penilaian inilah penulis mengusulkan agar praktisi perpustakaan, penyelenggara pendidikan perpustakaan dan perkumpulan profesional perpustakaan (IPI dan ISIPII) berhimpun untuk mencapai sebuah kesepakatan memajukan perpustakaan beyond koleksi dan teknologi.

Kebiasaan penulis bertanya (atau seringkali ditanggapi sebagai kritik dan usilan) memang seringkali aneh karena pertanyaan ini diajukan pada gagasannya sendiri seperti yang bisa dibaca pada tulisan berjudul Mengapa Harus Beragam. Penulis adalah salah satu penggagas dari terbentuknya APISI, namun kemudian penulis sendiri mempertanyakan posisi asosiasi ini diantara organisasi lain seperti IPI dan ISIPII. Pertanyaan yang sebenarnya secara tersembunyi dimiliki oleh banyak pihak tentang hubungan ini di mana ketiga ikatan, asosiasi atau organisasi mengurusi hal yang nyaris sama yaitu mereka yang berurusan dengan perpustakaan dan informasi. Tulisan ini masih berhubungan dengan tulisan berjudul Mengapa Kita Berhimpun di mana keberagaman merupakan sebuah anugerah yang seharusnya disyukuri dengan cara menghimpunnya menjadi sebuah kekuatan. APISI yang oleh penulis disebut sebagai ’anak’ yang baru lahir di banding IPI merupakan sebuah asosiasi yang murni lahir dari keinginan sendiri dan tidak memiliki label pemerintah, seperti IPI yang disebut oleh Putu Laksman Pendit sebagai organisasi ’plat merah’. Untuk itu keberadaannya yang relatif baru ini perlu mendapat apresiasi.

Berbeda dengan dua tulisan awal, tulisan berikutnya boleh disebut tulisan yang bergaya ’normal’ dan tidak sulit diikuti karena lebih merupakan gagasan untuk menyempurnakan hasil pemikiran yang sudah ada. Tulisan bertajuk: ”Pokok Pemikiran Tentang Naskah Kuna” merupakan sebuah sumbangan pemikiran bagi pemerintah yang tertuang dalam Undang Undang no 47 tahun 2007 tentang Perpustakaan yang menyangkut penanganan naskah kuno. Penulis meminta agar pemerintah melalui Peraturan Pemerintah menegaskan batasan usia dan nilai penting naskah kuno sehingga tidak semua naskah atau karya bisa masuk dalam kategori itu. Gaya yang sama juga muncul pada tulisan berjudul ”Pendekatan Dalam Pencarian Dan Pendokumentasian Inovasi Masyarakat.”
Ketertarikan penulis pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK), perpustakan dan dokumentasi (penulis adalah mantan Kepala Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia – PDII LIPI) membuat penulis banyak berbicara dan menulis tentang ketiga hal ini dan juga membuatnya sering diminta membantu atau membina lembaga pengelola dokumentasi untuk menerapkan konsep pendokumentasian berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Dua tulisan berjudul “Penerapan Teknologi Informasi dan Dokumentasi di Bidang Dokumentasi Hukum”, dan tulisan berjudul “Pemberdayaan Perpustakaan Di Lingkungan Mahkamah Agung RI, Pengadilan Tingkat Banding, dan Pengadilan Tingkat Pertama” merupakan karya yang menunjukkan ketertarikannya. Melalui dua karya ini penulis menyarankan segera digunakannya TIK dalam pengelolaan dokumentasi hukum sekaligus memberikan peringatan akan bahayanya TIK jika tidak dipergunakan dengan tepat. Kemudian pada tulisan berikutnya disarankan beberapa pemikiran agar Perpustakaan di Lingkungan Mahkamah Agung dapat diberdayakan melalui dua pilar utama yaitu dengan penerapan TIK dan pustakawan yang berkualifikasi yang diperoleh melalui pendidikan tinggi. Pemikiran yang menarik saya sebagai pelaku pendidikan adalah pendirian program Magister (S2) dalam bidang Perpustakaan Hukum yang sangatlah dibutuhkan namun tidak pernah tersedia.

Pemikiran tentang pentingnya pustakawan berlanjut pada tiga tulisan berikutnya yaitu Strategi Pengembangan Pustakawan Utama dan Madya, Strategi Pengembangan JFP, dan Menuju Penyempurnaan Jabatan Fungsional Pustakawan, yang lebih spesifik ditujukan bagi pejabat fungsional pustakawan ’senior’ yaitu pustakawan madya (PM) dan pustakawan utama (PU). Tulisan-tulisan ini, seperti pada kelompok tulisan pertama, tidak bisa dibaca selintas karena terdapat pemikiran berdasarkan filsafat (salah satunya adalah hasil pemikiran Driyarka) mengenai peran pustakawan di masyarakat dan bagaimana seharusnya seorang pustakawan PNS mengembangkan diri untuk dapat hidup lebih sejahtera dengan tetap berpegang pada etika profesi. Pemikiran yang paling perlu dibaca dengan serius dan rinci adalah pemikiran tentang stategi yang harus digunakan agar pejabat fungsional dapat mengembangkan diri melalui banyak cara, terutama oleh pustakawan berusia muda yang masih memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk berkembang.

Fenomena literasi informasi yang sangat berkembang di awal 2006 dan berlanjut ketahun berikutnya juga mendapat perhatian dari penulis, terutama keeratkaitannya dengan penerapan teknologi informasi Internet. Dengan dasar kesukaannya yang lain, yaitu mencoba membuat ‘istilah paling Indonesia’, penulis mencoba menerjemahkan asal istilah literasi informasi yaitu information literate menjadi ‘keberinformasian’ (sementara para ahli menggunakan istilah ‘melek informasi’) yang berarti kesadaran akan kebutuhan, kemampuan mencari dan menemukan, dan menggunakan informasi. Tulisan berjudul “Keberinformasian: sebuah Pemahaman Awal” merupakan sebuah pemikiran ‘nyeleneh’ karena tidak membahas fenomena literasi informasi dari segi teknis seperti pada umumnya, akan tetapi dari sisi filsafat hidup (seperti biasanya, Driyarkara menjadi acuan pandangannya) yang menyadarkan semua pembacanya bahwa keberinformasian bukanlah fenomena teknis. Pemikiran rumit ini juga disampaikannya dalam tulisan berjudul “Konsep Keberinformasian di Sekolah” yang disampaikan untuk petugas perpustakaan sekolah Ursula, namun kemudian penulis mencoba down to earth dengan menjelaskan bagaiman peran perpustakaan, pustakawan dan kepala sekolah untuk membuat konsep keberinformasian dapat diterapkan di sekolah.

Walapun tidak ada ke‘langsungnyambung’annya, tulisan berjudul “Pengembangan Fasilitas dan Layanan untuk Menunjang Perpustakaan sebagai Sumber Belajar” dapat disebut sebuah lanjutan dari pemikiran tentang keberinformasian. Diuraikan oleh penulis bahwa perpustakaan memiliki peran yang sangat besar dalam memandaikan penggunanya dalam pencarian sampai penggunaan informasi. Melalui tulisan yang cukup rumit dan komplit dengan banyak model dan bagan ini, pembaca dapat melihat dengan jelas posisi pustakawan, koleksi dan fasilitas dalam sistem perpustakaan, yang dikaitkan dengan keberadaan UU No 43 tahun 2007. Tulisan yang ditujukan bagi Forum Perpustakan Sekolah Indonsia (FPSI) memerlukan konsentrasi tinggi untuk memahaminya karena banyak sekali memuat sumber tulisan dari berbagai ahli dan rujukan dari berbagai negara, ditambah lagi dengan bahasan Library 2.0 yang sarat kemajuan teknologi informasi dalam dunia perpustakaan. Namun dengan tulisan ini semua pengelola perpustakaan sekolah akan sangat paham tentang cara mengembangkan fasilitas perpustakaan sehingga dapat menjamin pemustakanya mendapatkan semua ilmu dan pengetahuan yang dibutuhkannya.

Perpustakaan Menyikapi Keberadaan Internet merupakan tulisan yang diniatkan untuk menjawab pertanyaan banyak pustakawan tentang apakah mereka dapat menang bersaing melawan kehadiran Internet. Namun jawaban sebenarnya ada pada diri pustakawan sendiri yang harus mampu menempatkan posisi perpustakaan dalam gelombang informasi, sebagai peselancar mengikuti gelombang atau penonton gelombang di pinggir pantai. Melalui konsep yang cukup rumit (nampaknya sudah menjadi bawaan penulis sejak lahir untuk menjadi manusia rumit), Pak Dar menggunakan konsep pendokumentasian, orientasi dan kepercayaan (radical trust) pada pengguna sebagai inti konsep Library 2.0, dan peran penting pustakawan sebagai kunci yang memenangkan persaingan melawan Internet. Perlu waktu yang cukup dan khusus untuk memahami tulisan ini karena penuh rumus dan perhitungan. Nampaknya latar belakang penulis yang juga seorang fisikawan mempengaruhi caranya menempatkan perpustakaan, dokumentasi dan pustakawan pada sebuah koordinat. Penggunaan rumus kimia juga digunakannya untuk menggambarkan konsep Library 2.0 pada tulisan berjudul “Perpustakaan Dua Titik Nol : Pengantar Pada Konsep Library 2.0” yang untuk membuat uraian menjadi praktis disingkatnya menjadi P 2.0. Pemahaman pada tulisan ini akan lebih mudah dimiliki oleh pustakawan yang telah memiliki pengalaman atau sekurangnya pengetahuan tentang dunia komunikasi Internet seperti Google, Yahoo!, Facebook, Javascript dan sejenisnya. Dengan pengalaman ini maka gambaran P. 2.0 yang merupakan ‘pemustakaan’ Web 2.0 akan lebih mudah dibuat dan peran pustakawan juga akan lebih mudah dilibatkan di dalamnya.
Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) adalah sebuah organisasi wadah interaksi pustakawan terbesar di Indonesia dan menjadi ‘induk’ (penulis suka menyebutnya sebagai ‘ayah’) dari berbagai ikatan dan asosiasi yang lahir berikutnya seperti FPPTI, APISI, ISIPII, FPSI dan lain-lain. Maka sudah sewajarnya jika organisasi ini dituntut untuk menjadi profesi yang dijalankan dengan ideal. Untuk itulah pada ulang tahun IPI yang ke 35 bulan Juli 2008, Pak Dar memberikan sebuah hadiah ulang tahun berupa tulisan yang berisi renungan dan nasihat bagi organisasi yang dinilainya sudah cukup dewasa untuk menetapkan pendiriannya seperti ketegasan mengenai status keanggotaan, terutama setelah lahirnya UU No 43 Tentang Perpustakaan tahun 2007. Kemudian hadiah kedua diberikan pada IPI di ulang tahunnya yang ke 36 tahun 2009. Namun hadiah kali ini lebih berupa ‘sentilan’ atau teguran ringan yang mengingatkan IPI untuk tidak ngotot pada konsep sentralisasi dan mulai menentukan arah organisasi serta mulai bersikap bijak (wisdom) sebagai organisasi yang tidak muda lagi.
Setelah UU No 43 Tentang Perpustakaan Tahun 2007 dikenali dan diterima secara luas oleh pengelola perpustakaan dan sebagian masyarakat umum, maka sudah saatnya dimulai langkah penerapan seluruh komponen undang-undang dalam pengelolaan perpustakaan. Penerapan ini dilakukan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) yang hanya dapat disusun setelah ada kesepakatan mengenai standar yang baku secara nasional untuk menjalankan perpustakaan. Dalam rangka inilah penulis diminta untuk memberikan masukan untuk penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Standar Nasional Perpustakaan. Namun usulan yang dibuatnya tidak langsung diberikan mentah-mentah, namun melalui penjelasan sejarah penyusunan beberapa standar nasional dan pengertian mendasar mengenai standard dan standardisasi serta usulan pendirian Pusat Standarisasi Nasional Perpustakaan (PSNP). Dengan penjelasan awal diharapkan usulan yang disampaikan lebih mudah dipahami. Tapi seperti masukan pada kondisi sebelumnya, lebih mudah membaca daripada menerapkannya.

Pada UU No 43 Tentang Perpustakaan tahun 2007 (yang paling banyak dirujuk oleh penulis tetapi belum sempat dibuat singkatannya) yang dijadikan dasar pembuatan standar nasional perpustakaan disebutkan mengenai pustakawan sebagai jabatan fungsional. Akan tetapi sebutan tersebut nampaknya tidak menyentuh mereka yang berada di perpustakaan swasta karena jabatan fungsional hanyalah untuk PNS. Inilah yang dipersoalkan oleh penulis pada karya berjudul “Pemikiran Tentang Pustakawan Bukan Pegawai Negeri Sipil”. Penulis mengkritisi pada pejabat fungsional yang masih sibuk mengurus jati diri sendiri dan lupa melibatkan pustakawan dari swasta karena mereka juga perlu memperhatikan kesejahteraan sebagai pustakawan layaknya pustakawan PNS. Untuk melengkapi pemikiran ini maka pembaca kumpulan tulisan ini perlu juga mencermati sebuah pemikiran ‘mundur’ dalam “Refleksi dan Transformasi Kepustakawanan” yang mengurai secara filsafati (lagi!) pemahaman tentang kepustakawanan. Tulisan yang disampaikan pada Rapat Koordinasi Pengembangan Pustakawan dan Tim Penilai ini disebutkan sebagai ungkapan kerisauan penulis akan dunia kepustakawanan yang sudah terlalu berorientasi pada hal praktis terutama setelah digunakannya teknologi informasi. Dengan konsep filsafat dari Driyarkara yang dimodifikasi, diusulkanlah pengertian pustakawan yang sebaiknya dianut yaitu bahwa ”Kepustakawanan adalah perkembangan dari pustakawan. Perkembangan yang sedemikian rupa sehingga pustakawan betul-betul menjalankan kedaulatan dan kewenangannya atas dirinya sendiri...”

Seperti diungkap dalam UU No 43 Tentang Perpustakaan tahun 2007 bahwa Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan, yang berarti bahwa pendidikan merupakan kunci utama kepustakawanan seperti yang diungkap oleh pak Dar dalam tulisan berjudul “Pendidikan Profesional Pustakawan dan Kebutuhan Masa Depan Perpustakaan Di Indonesia.” Melalui tulisan ini terungkap keinginan penulis untuk menegaskan kembali bahwa pustakawan (atau pekerja informasi) adalah profesional informasi dengan segala kompetensi profesional dan perorangan yang dimilikinya melalui pendidikan. Penulis juga mengingatkan bahwa tantangan pustakawan Indonesia di masa depan masih cukup banyak terutama masih rendahnya kesadaran masyarakat akan peran pustakawan dalam kehidupan masyarakat. Pada ujungnya dia menantang dan mengajak para penyelenggara pendidikan perpustakaan untuk dapat menyiapkan pustakawan yangs sesuai dengan tuntutan kemajuan.

Lebih dari setengah kumpulan tulisan tentang Pustakawan, Cinta dan Teknologi ini mengutip, menggunakan, mengomentari dan merujuk UU No 43 Tentang Perpustakaan tahun 2007. Ini berarti bahwa UU ini sangatlah berarti bagi perkembangan dunia pustaka, kepustakaan, perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia (konsep ini murni pemikiran pak Dar yang tidak diketahui apakah pernah ditulis) dan perlu dipahami secara mendalam. Salah satu cara terbaik untuk memahaminya adalah dengan mengetahui sejarah perumusannya. Ini juga yang menjadi inti tulisan berjudul ”Sekitar Rancangan Undang-undang Perpustakaan.” Melalui tulisan (yang paling panjang) ini pembaca diajak untuk memahami bagaimana rancangan ini disusun, bagaimana naskah akademik dijadikan rujukan penyusunan secara tidak lengkap oleh Komisi X DPR serta ajakan untuk mencermati UU ini. Walaupun agak terlambat – karena UU sudah terbit – tulisan ini tetap dapat dijadikan salah satu sumber pemahaman UU yang komprehensif karena pada tulisan ini terdapat ringkasan naskah akademik yang menjelaskan makna sesungguhnya dari UU Perpustakaan (kalau boleh disingkat seperti itu).

Tulisan-tulisan yang diurutkan terakhir tidak dapat dikelompokkan secara khusus dan juga tidak bisa dipaksakan untuk ’nyangkut’ atau terkait dengan tulisan sebelumnya. Namun kalau disimpan dalam satu ’wadah’ ternyata nampak cocok juga karena bicara hal yang mirip tentang budaya baca dan buku, yaitu tulisan tentang minat baca yang berjudul ”Bangkit Bersama dengan Budaya Baca”, pengantar bedah buku ”Hadiah Valentine Day” dan ”Catatan atas Buku Pengelolaan Perpustakaan.” Walaupun demikian ulasan tentang ketiga tulisan itu tidak bisa dipaksakan ditulis dalam satu rangkaian melainkan harus diurai satu-satu walupun pendek-pendek.

”Bangkit Bersama dengan Budaya Baca” merupakan sebuah tulisan penyejuk atas keprihatinan para pengelola perpustakan gereja yang jarang sekali digunakan oleh para umat dan kekhawatiran akan ancaman media audio visual yang membelokan kebiasaan membaca menjadi kebiasaan menonton dan mendengar. Penyejukan ini dilakukan oleh penulis dengan menggunakan pengertian membaca yang sebenarnya, dan – dengan konsep filsafat – membentuk pengertian peran perpustakaan yang sesungguhnya yaitu sebagai pusat interaksi pengetahuan yang jika terus dikembangkan akan menumbuhkan budaya baca. Walaupun terdengar sederhana, diperlukan perhatian lebih untuk dapat memaham usulan ini. Maklum, memahami konsep berbasis filsafat memang perlu waktu dan tenaga ekstra.

”Hadiah Valentine Day” adalah sebuah catatan yang diberikan untuk buku karya Putu Laxman Pendit, PhD berjudul Perpustakaan Digital : dari A sampai Z yang disampaikan pada acara soft launch buku tersebut. Karena waktu yang membaca yang tersedia sangat pendek, ulasan pada buku ini memang menjadi kurang mendalam, terlebih karena Pak Dar sudah mulai ’rabun teknologi’ (kebalikan dari ’melek teknologi’). Namun sebagai orang tua penuh pengalaman, masih ada yang dapat dicerna untuk ditanggapi yaitu konsep ”pemahaman bersama’ sebagai inti dari konsep penerapan perpustakaan digital. Penulis juga sempat mengajak semua pembaca buku untuk ikut memelihara ’benih tanaman’ berupa konsep perpustakan digital yang dibuat oleh Putu.

Agak berbeda dengan hadiah Valentine, catatan atas buku Pengelolaan Perpustakaan karya suntingan F. Rahayuningsih, Kepala Bagian Pelayanan Pengguna Perpustakaan Universitas Sanata Darma (USD) lebih lengkap karena waktu ‘bedah’nya lebih lama. Hal ini terbaca dari perbandingan yang dilakukan pak Dar atas buku ini dengan beberapa catatan tentang pengelolaan perpustakaan, mulaidari UU Perpustakaan sampai pada standar yang dibuat Unesco. Pada ulasan ini juga terbetik ungkapan betapa peran perpustakaan masih jauh dari ideal karena kesadaran masayarakat yang rendah tentang peran perpustakaan. Apresiasi dan kritik penulis kepada buku Pengelolaan Perpustakan menunjukkan bahwa buku ini merupakan buku yang cukup baik untuk dijadikan pedoman tehnis oleh para pustakawan di Indonesia.

Tulisan yang saya sendiri tidak pernah bisa memutuskan, sampai pengantar ini selesai ditulis, apakah harus disajikan pada awal kumpulan, atau justru pada akhir, adalah selembar (betul-betul hanya satu halaman) tulisan berjudul ”Cinta”. Judul tulisan yang mengilhami judul kumpulan ini. Cinta yang muncul pada pasangan merupakan sebuah rasa yang harus berimbang, tidak boleh bertepuk sebelah tangan dan memerlukan bukti...terutama cinta seorang pustakawan pada perpustakan!

Akhirnya pengantar ini memang hanya berperan sebagai pengantar, tidak lebih. Pengantar yang saya tulis ini bukanlah sebuah rekomendasi tentang tulisan mana yang akan dibaca lebih dahulu atau belakangan. Susunan yang dibuat juga tidak menggunakan teori atau konsep klasifikasi atau manajemen. Pengantar ini boleh digunakan sebagai manual (layaknya petunjuk pemakaian sebuah mesin cuci baru yang super canggih) yang perlu dibaca lebih dahulu sebelum membaca tulisan lengkapnya. Ada dua keputusan yang dapat dibuat setelah membaca manual ini: (1) tulisan yang akan dibaca lebih dahulu (2) tidak meneruskan membaca tulisan yang tidak sesuai selera. Yang paling utama adalah bahwa tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan visi untuk pustakawan dalam mengembangkan perpustakaan. Antropolog dan guru Johnetta Betsch Cole (1936) mengatakan:

While it is true that without a vision the people perish, it is doubly true that without action the people and their vision perish as well.(Conversations: Straight Talk with America's Sister President). Benar bahwa tanpa visi, manusia akan mati, tapi lebih benar lagi adalah bahwa tanpa tindakan, orang dan visinya akan mati.

Bandung, September 2009


Agus Rusmana