Kamis, 25 Juni 2009

“Library and Democracy” : Sebuah catatan (Oleh Yuli Asmini)

“Library and Democracy” : Sebuah catatan
Oleh Yuli Asmini

“Demokrasi mensyaratkan partisipasi aktif dari warga negara, hal yang hanya dapat dilakukan manakala warga memiliki cukup pengetahuan dan akses terhadap informasi. Disinilah letak salah satu peran penting perpustakaan dalam demokrasi, yaitu mengumpulkan dan menyediakan akses informasi”

Pernyataan diatas diutarakan nyaris bersamaan oleh tiga orang narasumber yang merupakan pembicara pada “Seminar Libraries and Democracy” yang diselenggarakan pada 18 Juni 2009 di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Seminar serupa diselenggarakan satu hari sebelumnya yaitu 17 Juni 2009 di Universitas Petra Surabaya. Kedua seminar ini merupakan kerjasama antara Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi, Ikatan Sarjana Perpustakaan dan Informasi Indonesia, Univesitas Indonesia, Universitas Petra, Goethe-Institute, dan Library of Congress Jakarta.

Tiga narasumber pada seminar tersebut yaitu; Prof. Hermann Rosch, Pustakawan dan Pengajar dari Koln University Jerman, William P Tuchrello, Direktur Informasi Library of Congress Jakarta, dan Binni Buchori, Aktifis dan Politikus perempuan secara bergiliran menyampaikan presentasinya dipandu oleh Abdul Rachman Pengajar dan Pustakawan Institut Pertanian Bogor selaku moderator.

Prof. Hermann Rosch dalam presentasinya menyebutkan pentingnya peran perpustakaan dalam demokrasi dengan membaginya menjadi beberapa fungsi yaitu; fungsi pendidikan yang mencakup pendidikan secara umum, pendidikan dalam bentuk pelatihan dan keberaksaraan atau keberaksaraan informasi. Fungsi lainnya adalah fungsi sosial yang mencakup pelibatan minoritas, dan mendorong emansipasi dari strata social yang lemah.

Fungsi yang cukup panjang dipaparkan oleh Prof. Rosch adalah fungsi politik perpustakaan. Fungsi yang sangat terkait langsung dengan era demokrasi dan secara kontekstual sangat bersesuaian dengan kondisi Indonesia saat ini. Pada fungsi ini melekat peran perpustakaan sebagai penyedia informasi yang tidak bias, yang mendasarkan pluralisme atau keragaman sebagai landasan utama demokrasi. Dengan demikian, perpustakaan seharusnya menjamin tersediannya keragaman pendapat, sehingga tidak satu entitas pun dapat menyatakan dirinya sebagai pemegang kebenaran sejati. Pada fungsi ini pula perpustakaan diharapkan mampu menjamin terdorongnya partisipasi politik warga negara dengan penyediaan akses informasi sebagai hak dasar demikian pula dengan kebebasan berekspresi. Dengan tesedia dan teraksesnya informasi secara utuh masyarakat akan memiliki informasi yang cukup yang tidak saja berguna untuk mengambil keputusan, bahkan untuk mengontrol proses pembentukan kebijakan. Penyediaan akses informasi akan mampu menyuburkan nilai-nilai transparansi dan anti korupsi sehingga tercipta pemerintahan yang terbuka, yang berujung pada terselenggaranya tata pemerintahan yang baik.

Masih dalam kaitannya dengan fungsi politik, Prof Rosch menyatakan bahwa perpustakaan juga berperan dalam menyediakan dan memelihara memori kebudayaan bangsa, sekaligus kekayaan dan warisan budaya bangsa. Fungsi lain dari perpustakaan adalah fungsi informasional. Fungsi ini terwujudkan dalam penyediaan akses terhadap informasi secara bebas, demokratisasi informasi ilmiah, dan konektifitas terhadap informasi global dunia. Demokratisasi informasi ilmiah menurut Prof. Rosch adalah keberadaan informasi ilmiah sejatinya tidak hanya disediakan untuk para ilmuwan, melainkan juga bagi semua warga negara. Hal ini disebabkan informasi ilmiah dapat berdampak pada ranah politik, ekonomi, dan etika, bahkan pada kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Lebih jauh lagi informasi ilmiah semestinya dapat dimonitor oleh publik, dan penggunaan informasi ilmiah tidak dapat dibatasi hanya untuk melayani kepentingan pengusaha atau ketertarikan golongan tertentu saja.

Sedangkan dalam kaitannya dengan keterkaitan perpustakaan terhadap informasi pada tataran global menurut Rosch adalah perpustakaan utamanya mampu menyediakan akses informasi global kepada semua orang. Perpustakaan juga mampu untuk menjadi penyedia fasilitas bagi perkembangan opini-opini yang independen. Akses terhadap internet merupakan layanan yang seharusnya disediakan oleh perpustakaan khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki infrastruktur yang memadai.

William Tuchrello dan Binni Buchori selanjutnya menegaskan kembali peran penting perpustakaan dalam era demokrasi. Menurut Binni, peran nyata perpustakaan adalah memperkuat pengetahuan warga negara tentang hak-hak mereka, utamanya, perpustakaan mampu mendemokratisasi pengetahuan. Perpustakaan merupakan kunci bagi penyediaan akses kepada pengetahuan dan ide-ide kepada setiap warganya dengan setara. Tuchrello dalam presentasinya memberikan contoh, sebuah perpustakan seperti Library of Congress mampu menjadi faktor penting dalam proses demokratisasi di Amerika.

Seminar yang memberikan ruang untuk berdiskusi dengan menyediakan kesempatan berlangsungya tanya jawab antara peserta dan narasumber. Pada akhir presentasinya, Prof Rosch menyatakan bahwa ada persyaratan bagi perpustakaan untuk memaksimalkan perannya dalam demokrasi. Persyaratan tersebut antara lain adalah perpustakaan harus bekerjasama dan berjejaring disamping pembagian kerja berdasarkan kekhususan. Prof. Rosch bahkan menyebutkan jika perpustakaan dianggp penting maka pustakawan harus terlatih, cakap dan memiliki keahlian yang handal dan tentunya mendapatkan pendidikan secara berkelanjutan. Untuk menghasilkan pustakawan yang mumpuni tentunya lembaga penyelenggara pendidikan perpustakaan diharapkan dapat mengembangkan kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan tersebut.

Prof. Rosch membagi pengalamannya tentang kepustakawanan di Jerman yang berupaya untuk menemukan ”common concern” sebagai isyu untuk menyuarakan kepentingan bersama kepustakawanan Jerman. Pada prakteknya isyu besama tersebut mampu memunculkan kampanye nasional tentang perpustakaan di Jerman dengan tema ”Library as a meeting point”.

Selanjutnya, Tuchrello dan Binni menyatakan dalam konteks Indonesia, saat ini, merupakan waktu yang tepat bagi perpustakaan dan pustakawan untuk terlibat aktif dalam menyuarakan posisinya. Proses demokratisasi dan reformasi di Indonesia merupakan sebuah peluang untuk lebih aktif bersuara. Pendekatan dan lobi terhadap pemegang kebijakan sebaiknya segera dilakukan. Kepustakawanan Indonesia direkomendasikan agar merangkul elemen masyarakat diluar kepustakawanan, termasuk media massa untuk terlibat dalam advokasi perpustakaan. Lebih tegasnya lagi Binni mendorong untuk dilakukannya pengarusutamaan perpustakaan indonesia, yang sampai saat ini masih termarginalkan

Seminar setengah hari yang dihadiri oleh kurang lebih seratus orang pustakawan dan dosen ilmu perpustakaan dari berbagai lembaga ini ditutup segera setelah diskusi selesai berlangsung. Selanjutnya beberapa pustakawan terlihat berkumpul, bercengkarama dan berdiskusi sambil menikmati suasana kampus Fakultas Ilmu Budaya yang sejuk.

Pertanyaan yang mungkin tercecer dari diskusi tersebut adalah bersedia dan mampukah kepustakawanan Indonesia menemukan ”common concern” dan bergerak bersama untuk pemajuan kepustakawanan Indonesia? Jawabannya mungkin mau dan mampu. Semoga!

2 komentar:

Deky mengatakan...

kunjungi blog ku ya. . .
dan komen balik terima kasih. . .

23779 mengatakan...

kalau mau Kuliah S1 Perpustakaan di daerah jakarta selain UI dimana ya ?
terima kasih atas jawabannya